Transformasi Barbarik Frank

Poster

Kalau kita mendengar kata barbar, yang terlintas di dalam benak kita adalah pengrusakan, penghancuran yang ganas, dan kasar. Arti yang memiliki kesamaan makna dengan vandalisme. Padahal bukan itu maksud arti dari kata barbar. Kata ‘barbar’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tidak beradab, atau sebuah bangsa yang belum beradab (uncivilized). Walaupun pada klimaksnya bangsa Barbar sering mengacu pada aksi-aksi vandalisme.

Melalui literatur-literatur lengkap sejarah Islam dan dunia, kita cukup paham dengan sejarah bangsa Arab sebelum tersentuh nilai-nilai Islam. Pada saat itu mereka hanyalah sebuah bangsa yang tinggal di daerah gurun. Walaupun tidak tepat menyebut mereka sebagai bangsa barbar, karena pada saat itu mereka telah memiliki sejumlah peradaban. Bangsa Arab pada masa itu telah mengenal ilmu perbintangan yang diturunkan dari peradaban Mesopotamia. Mereka juga fasih dalam ilmu genealogi, maka tak heran kalau bangsa Arab adalah satu bangsa yang sangat fanatik dengan keturunannya. Menurut Ibnu Khaldun dalam karya besarnya yang bertajuk Al-Muqaddimah, orang-orang arab pada masa itu begitu lancar menyebutkan silsilah keluarga mereka dengan bagan silsilah yang sangat panjang. Dalam hal kesusasteraan, tidak ada satu bangsa pun di dunia yang mencintai syair seperti halnya bangsa Arab. Syair bagaikan oksigen yang memberi mereka kehidupan. Maka dari itu, bangsa Arab sebelum kedatangan Islam lebih tepat disebut sebagai bangsa jahiliyah karena bobroknya moral dan akhlak mereka daripada disebut sebagai bangsa yang tidak berperadaban.

Lalu bagaimana dengan bangsa Frank atau kaum Frank, nenek moyang bangsa Perancis sekarang. Bagaimana karakter, sifat dan kehidupan sosial mereka ketika mereka masih terjerembab dalam kehidupan barbar, sangat jarang sekali ada yang mengetahui latar belakang mereka. Berikut pembahasannya di bawah ini.

Bangsa Frank atau kaum Frank, yang namanya dipakai sebagai Negara Perancis sekarang berasal dari sisa-sisa orang Romawi yang mendiami dan mendominasi wilayah Eropa Barat. Beberapa saksi sejarah perang salib mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang cenderung bodoh dan terbelakang, kehidupan dan perilaku mereka juga sangat barbar.

Orang-orang Frank menjadi lebih baik dalam hal perilaku dan norma kesopanan saat mereka sudah menetap cukup lama di Syiria yang saat itu sudah menjadi Negara di bawah kekuasaan pemerintahan Islam dengan limpahan kekayaan peradaban yang begitu cemerlang. Orang-orang Frank datang ke Syiria sebagai tentara Salib dalam perang Salib yang bermula dari tahun 1096 M. Orang-orang Muslim yang melihat mereka saat itu tak ubahnya seperti melihat hewan yang memiliki keberanian dan kemampuan bertempur, tidak lebih.

Ketika mereka mampu merebut Yerusalem dari tangan kaum muslimin pada perang salib I, mereka juga mendirikan sebuah kerajaan di sana yang bernama Kerajaan Latin, sebuah kerajaan Kristen yang tidak berafiliasi dengan Konstantinopel, walaupun hubungan dua kerajaan itu relatif baik di depan dan saling tikam di belakang.

Sistem peradilan pada kerajaan orang-orang Frank di Yerusalem itu sangat aneh. Untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak dalam kasus pembunuhan begitu menggelikan. Mereka menyiapkan tong besar yang diisi air, lalu si tersangka akan diikat kuat-kuat dan dimasukkan ke dalam tong besar itu. Jika tersangka tenggelam di dalam tong besar itu, maka ia akan divonis tidak bersalah. Tapi, jika si tersangka tidak tenggelam, maka ia divonis bersalah dan akan ditusuk bola matanya dengan besi panas. Sistem peradilan seperti ini sama sekali tidak ada dalam pemerintahan Islam yang pada masa itu sudah sangat beradab.[1]

Selera humor dan cara mereka mengekspresikan kegembiraan pun juga tergolong aneh. Saat mereka sedang merayakan hari kegembiraan, mereka menghadirkan dua orang nenek yang sudah sangat tua. Mereka menyuruh kedua nenek itu untuk berlomba lari. Mereka tertawa terpingkal-pingkal ketika dua orang perempuan yang telah berumur itu jatuh tersungkur karena berusaha berlari cepat. Fenomena seperti ini begitu menggelikan dan menjijikkan bagi kaum muslimin baik di Syiria maupun di Yerusalem ketika itu, karena orang muslim begitu menghormati derajat orang yang sudah berumur dan tidak akan menjadikan mereka sebagai bahan olok-olok, apa lagi disuruh berlomba lari.

Sistem perobatan orang-orang Frank saat itu juga sangat ganjil. Cara pengobatan mereka terkadang berhasil, tetapi dalam banyak kesempatan lebih banyak menghilangkan nyawa si pasien. Pada saat itu di kota Munaytirah, terdapat seorang wanita muda yang mengalami kedunguan (imbecility). Seorang tabib dari orang Frank datang mengobatinya dengan cara menggunduli rambutnya dengan dalih ia telah kemasukan roh jahat. Alhasil kedunguannya tak kunjung sembuh malah bertambah. Padahal sebelumnya ia telah diobati oleh tabib muslim dengan cara menyuruhnya diet dan berpuasa hingga kedunguannya sedikit berkurang. Melihat perisitiwa itu, tabib muslim hanya menggeleng-gelengkan kepalanya karena pengobatan aneh yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara pengobatan di dunia Islam yang saat itu telah maju dengan karya-karya yang fantastis dari Ibnu Sina dan para ilmuan kedokteran lainnya.

Sikap mereka terhadap perempuan dan istri-istri mereka pun sangat aneh. Mereka seperti tidak memiliki rasa cemburu. Ketika mereka sedang berjalan dengan istri mereka, lalu istri mereka bertemu dengan seorang teman prianya di jalan, dan menghabiskan waktu yang lama untuk saling bercengkrama dengan mesranya, hingga kawan pria si istri itu memegang tangannya, sang suami sama sekali tidak menunjukkan rasa cemburu, bahkan si suami hanya berujar dengan ekspresi yang biasa, “Aku tunggu kamu di rumah.”  Pemandangan seperti ini tentu sangat berbeda dengan budaya Arab Islam saat itu yang tidak akan membiarkan istrinya disentuh oleh pria lain yang bukan mahramnya. Bahkan rela mengorbankan nyawanya demi menjaga kehormatan istrinya.

Terlepas dari itu semua, orang Frank yang telah lama tinggal di Syiria dan berinteraksi dengan kaum muslim menjadi lebih halus dan beradab dibandingkan dengan orang-orang Frank yang baru datang dari Eropa yang relatif lebih kasar dan kurang beradab. Pernah suatu ketika, seorang muslim Syiria bernama Usamah tiba di Yerusalem dan ingin mengerjakan shalat di Masjid Al-Aqsa yang saat itu fungsinya telah diubah menjadi markas Ksatria Templar. Saat itu telah terjadi kesepakatan antara penguasa Syiria Nuruddin Zanki dan Raja Kerajaan Latin Baldwin yang intinya tidak boleh saling membunuh antara kaum Muslim dan Kristen. Kedua umat beragama itu juga bebas menjalankan ajaran agamanya masing-masing, sehingga Usamah pun dapat dengan bebas shalat di Masjid Al-Aqsa. Ketika ia berdiri dan mengangkat tangannya untuk takbiratul ihram, ada seorang Frank yang menggoda shalatnya, sehingga ia berkali-kali menunda sholatnya. Saat itu datang seorang Ksatria Templar dan mengusir orang Frank itu sambil meminta maaf kepada Usamah dan berkata, “maaf, ia baru datang dari Eropa.” Usamah merasa heran dan kesal dengan perilaku Orang Frank yang baru datang dari Eropa itu. [2]

Orang-orang Frank yang sudah lama tinggal di Syiria dan Yerusalem, bukan hanya lebih halus dan lebih berbudaya, namun mereka juga mengadopsi kebiasaan kaum muslimin yang tidak makan daging babi, walaupun belum bisa menghilangkan kebiasaan minum arak.

Masih dengan Usamah, yang anaknya saat itu diajak oleh seorang Frank untuk pergi ke Eropa. Dengan halus Usamah menolak. Ia lebih memilih anaknya menjadi tawanan di Yerusalem dari pada anaknya harus pergi ke Eropa dan hidup bersama para Barbarik. [3]

Di sini dapat dilihat bahwa perang salib bukan hanya sebagai ajang pertempuran dua agama terbesar di dunia ini. Lebih dari itu, ia merupakan pertemuan dan benturan dua peradaban penting. Ia juga membentuk identitas dan jati diri Eropa menjadi bangsa yang lebih beradab.

Sumber:

Alatas, Alwi. Nuruddin Zanki dan Perang Salib. Zikrul: Jakarta, 2012.

Amstrong, Karen. Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World. Anchor Books: New York, 2001.

Hitti K, Philip. History of the Arab. Palgrave Macmilan: New York, 2002.

Gombak, Selangor, 23 November 2012.

Febri Priyoyudanto

 


[1] Usamah ibn Munqidh, An Arab Syirian Gentleman and Warrior in the Period of the Crusades: Memoirs of Usamah ibn-Munqidh. I.B Tauris: London, 1987. Dalam: Alatas, Alwi. Nuruddin Zanki dan Perang Salib. Zikrul: Jakarta, 2012, hlm 216.

[2] Alatas, Alwi. Nuruddin Zanki dan Perang Salib. Zikrul: Jakarta, 2012. Hlm 228.

[3] Alatas, Alwi. Nuruddin Zanki dan Perang Salib, hlm. 230.

Tinggalkan komentar